Pages

Monday 14 June 2021

Terjajah oleh negeri sendiri




Akhir akhir ini marak diberitakan Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR.


Dalam aturan tersebut, sektor pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN. Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN bila revisi UU KUP disahkan. Padahal jasa pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN.


Jelas hal itu sangat bertentangan dengan kostitusi yang ada. Bahkan dalam UUD 45 dengan gamblang menyatakan negara berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. tetapi kenyataanya pemerintah mempersulit. Seharus nya pemerintah berkewajiban menyediakan, memfasilitasi sarana pendidikan yang baik agar masyarakat cerdas dan  berpendidikan, bukan sebaliknya. Sektor pendidikan merupakan hal yang krusial dalam negara, artinya sesuatu kebutuhan wajib untuk masyarakat.


Tentu hal yang sangat buruk akan terjadi jika pemerintah mengesahkan RUU tersebut. Pemberlakuan PPN pada sekolah akan menjadikan sekolah sebuah sektor bisnis yang juga akan mengedepankan penumpukan uang. Sebelumnya Sekolah merupakan tempat yang berlandaskan sosial dan tidak terlalu mementingkan keuntungan. pemungutan PPN sebelumnya hanya untuk sektor bisnis, namun jika sekolah juga dipungut PPN maka sekolah akan menjadikan dirinya sebagai sektor bisnis.


Ketika sekolah dikenakan PPN maka otomatis sekolah akan mencari biaya tambahan untuk diberikan kepada pemerintah, untuk itu sekolah akan menaikan harga pendidikan. Padahal tidak semua warga Indonesia dikategorikan mampu berkecukupan, bahkan tidak banyak dari mereka yang untuk kebutuhan sehari hari seperti makan, terpenuhi dengan baik. Jika ini di biarkan maka pendidikan Indonesia akan seperti jaman penjajahan. Yaitu hanya anak anak elite, bangsawan, orang orang borjuis saja yang dapat mengenyam pendidikan dengan baik. Sedangkan anak anak proletar dengan standart kasta rendah hanya dapat berangan angan untuk bisa duduk di bangku sekolah. Sangat amat memilkukan negeri ini. Bedanya, Dahulu masyarakat Indonesia krisis pendidikan pada jaman penjajahan negara asing sedangkan saat ini Indonesia akan mengalami keterpurukan pendidikan disebabkan oleh bangsa sendiri, bangsa yang seharusnya mengayomi, membentangkan tangan, membantu sekuat apapun untuk masyarakatnya. Namun ia menerkam dan menenggelamkan masyarakatnya sendiri untuk kepentingan orang orang yang bertahta di gedung gedung megah, gedung megah yang pembagunanya juga di danai oleh uang rakyat yang mereka tindas.


Ketika banyak anak yang putus sekolah karena tingginya biaya sekolah maka kebodohan akan semakin meninggkat, banyak lagi dampak yang di hasilkan salah satunya kejahatan, pengangguran maka lengkap sudah negara ini menjadi negara yang chaos. Negara yang akan kembali kepada jaman penjajahan. Hanya si kaya yang dapat memegang tahta, maka bisa jadi paham komunis akan berkembang dengan pesat nya.


Padahal kurikulum yang mengacu pada buatan pemerintah sekarang sangat membingungkan, sangat berbelit belit dan memberatkan siswa dan guru. Kurikulum yang ada bahkan hanya sebagai syarat kelulusan untuk sebuah kertas ijazah. Kurikulum yang terbaik adalah dari islam, dari quran dan sunnah, dimana anak anak akan mendapatkan moral yang baik,  kesholehan dan juga kecerdasan akademik, yang semakin ia berilmu semakin ia takut akan Robbnya.


Adanya PPN yang dipungut dari sekolah dan kurikulum yang ada tidaklah sebanding, bahkan kurikulum yang ada tidak lebih baik. Pemungutan pajak sekolah ini akan sangat memukul masyarakat, banyak sektor yang dibebani pajak. Selama ini kemana pajak pergi ? Untuk apa pajak digunakan ? Uang rakyat banyak di manfaatkan, dikeluarkan untuk hal hal yang kurang manfaat. Pembangunan gedung gedung pemerintah, fasilitas pejabat yang subhanallah amat sangat mewah. Mereka keluar negeri atas nama tugas study banding di hotel terbaik, dengan kendaraan terbaik itu semua dengan uang rakyat, uang pajak yang di pungut. Belum lagi fasilitas fasilitas mewah yang mereka dapatkan dengan memakai topeng "wakil rakyat". Sungguh sangat miris negeri ini. Rakyat yang kehidupan sehari hari belum tentu mereka bisa makan untuk esok hari harus di peras lagi oleh orang orang berdasi suci.


Inilah yang dinamakan penjajahan yang sesungguhnya, dimana kondisi covid yang sedang berlangsung, bukan pemerintah memberikan kemudahan namun sebaliknya, memberatkan masyarakat, bahkan selain pajak sekolah pemerintah juga akan memungut untuk pajak sembako.


Eksekutif yang bertahta saat ini sudah menjabat dua periode, sekarang adalah periode terakhir, apakah dengan memungut pajak ini adalah langkah mereka untuk mengencarkan pundi pundi uang, menimbun uang yang entah tidak akan ada kesempatan lagi ia berkuasa selanjutnya. Maka dari itu periode terakhir ini ia manfaatkan untuk membagi bagikan keuntungan kepada sejawatnya, kepada dirinya sendiri yang haus akan harta.


Tidak bisa dibayakankan, pemerintah punya rencana untuk memungut pajak, sedangkan guru guru honorer pun mendapatkan gaji yang tidak seberapa. Pemerintah tidak memikirkan hal itu. Para guru yang berjuang, para pendidikan tanpa tanda jasa yang langsung terjun di lapangan mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi tidak dipikirkan kesejahterahanya. Gaji minumun yang mereka terima bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga nya. Sungguh heran pengajar belum di sejahterahkan tetapi pemerintah malah memberi beban tambahan.


Pemungutan PPN ini layaknya seorang preman yang memalak korban dengan kata kata sakti, kata kata nan suci atas nama kedaulatan negeri dan di kokohkan dengan konstitusi. Preman preman berdasi yang duduk nyaman di kursi tertinggi.

No comments:

Post a Comment